Dark

Cara Menghitung Bagi Hasil Usaha Kuliner

Sferabisnis.com - Dalam dunia usaha kuliner, kerja sama dengan sistem bagi hasil semakin populer, terutama bagi mereka yang ingin memulai bisnis namun belum memiliki cukup modal. Skema ini memungkinkan pengusaha kuliner berkolaborasi dengan investor atau pemodal untuk menjalankan usaha tanpa tekanan pinjaman. Namun, kunci keberhasilan dari skema ini adalah pemahaman yang tepat tentang cara menghitung pembagian keuntungan secara adil.

Jika pembagian dilakukan sembarangan, besar kemungkinan kerja sama akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas dengan rinci model pembagian yang umum digunakan, contoh simulasi sederhana, hingga tips legalitas agar kamu dan rekan kerjamu bisa menjalankan sistem bagi hasil usaha kuliner dengan tenang dan profesional.

Pahami Model Pembagian yang Umum Digunakan


Sebelum mulai menghitung, penting untuk memahami bahwa ada beberapa pendekatan dalam pembagian keuntungan usaha kuliner. Yang pertama adalah revenue sharing atau pembagian dari omzet kotor. Model ini cukup sederhana: keuntungan dibagi berdasarkan total pendapatan tanpa memperhitungkan biaya. Misalnya, dari omzet harian Rp1 juta, pemodal dan pengelola bisa membaginya langsung sesuai persentase, seperti 40:60.

Namun, pendekatan ini sering dianggap kurang adil karena tidak memperhitungkan pengeluaran. Maka muncullah pendekatan berbasis laba kotor, yaitu setelah dikurangi biaya bahan baku dan biaya operasional langsung. Model ini memberi gambaran lebih realistis tentang profitabilitas usaha sebelum pembagian.

Yang paling komprehensif adalah model laba bersih, di mana keuntungan dibagi setelah seluruh biaya operasional, gaji, sewa tempat, listrik, bahkan penyusutan aset dihitung. Meski paling rumit, model ini yang paling adil karena mencerminkan profit sebenarnya dari bisnis.

Simulasi Kasus: Usaha Mie Ayam dan Mitra Investor

Bayangkan kamu membuka usaha Mie Ayam dengan modal dari teman sebesar Rp10 juta. Kamu bertindak sebagai pengelola penuh, dan dia sebagai pemodal pasif. Kesepakatan bagi hasil ditetapkan 70% untuk kamu sebagai pengelola dan 30% untuk pemodal, dengan dasar pembagian dari laba bersih bulanan.

Dalam satu bulan, usaha tersebut menghasilkan omzet Rp15 juta. Setelah dikurangi biaya bahan dan operasional langsung sebesar Rp6 juta, serta biaya gaji dan sewa sebesar Rp5 juta, tersisa laba bersih Rp4 juta. Maka pemodal akan mendapat Rp1,2 juta (30%) dan kamu sebagai pengelola akan mendapat Rp2,8 juta (70%).

Melalui skema ini, jika kondisi usaha stabil, pemodal bisa balik modal dalam waktu kurang dari setahun, dan selanjutnya memperoleh keuntungan terus-menerus selama kerja sama berjalan.

Rasio Pembagian: Faktor Apa yang Menentukan?


Menentukan rasio pembagian tidak bisa asal-asalan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah besar kontribusi modal, seberapa aktif pihak-pihak yang terlibat, dan siapa yang menanggung risiko usaha. Jika pemodal hanya menyuntikkan dana namun tidak terlibat dalam pengelolaan, maka persentasenya bisa lebih kecil dibandingkan pengelola yang bekerja setiap hari.

Sebaliknya, jika pemodal juga turun tangan mengelola bisnis, pembagian bisa saja 50:50 atau sesuai kesepakatan yang mencerminkan kontribusi keduanya. Yang terpenting adalah kedua belah pihak merasa adil dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Hal penting lainnya adalah kamu harus memiliki estimasi break even point (BEP) atau titik balik modal. Ini berguna agar kamu tidak hanya melihat pembagian keuntungan, tapi juga tahu kapan investor akan balik modal dan mulai untung. Jika kamu bisa menyampaikan estimasi BEP dengan transparan, pemodal biasanya akan lebih percaya dan nyaman bekerja sama.

Kenapa Perjanjian Tertulis Itu Wajib?

Tak sedikit usaha kuliner yang gagal bukan karena tidak laku, tapi karena konflik antara pemodal dan pengelola. Salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya perjanjian tertulis yang menjelaskan secara rinci hak dan kewajiban masing-masing pihak. Maka dari itu, sebaiknya buat perjanjian kerja sama hitam di atas putih sejak awal.

Dalam perjanjian itu, tuliskan siapa yang bertindak sebagai pengelola dan pemodal, berapa nilai investasi, model pembagian keuntungan, siapa yang menanggung kerugian, bagaimana cara mengakhiri kerja sama, dan penyelesaian jika terjadi perselisihan. Kamu bisa membuatnya dalam bentuk surat kesepakatan biasa atau melalui notaris jika ingin yang lebih kuat secara hukum.

Menggunakan jasa notaris memang akan menambah biaya, tapi hal ini bisa melindungi kamu dari potensi masalah di masa depan. Bahkan jika kamu hanya menggunakan surat kesepakatan sederhana, pastikan ada tanda tangan di atas materai dari kedua pihak.

Kesalahan Umum yang Sering Terjadi

Salah satu kesalahan paling umum adalah membagi keuntungan tanpa mencatat keuangan secara rapi. Tanpa pencatatan, kamu tidak tahu berapa sebenarnya biaya dan laba usaha. Akibatnya, pembagian bisa tidak adil atau sekadar berdasarkan asumsi. Untuk menghindari hal ini, biasakan mencatat setiap transaksi, bahkan yang kecil sekalipun.

Kesalahan lainnya adalah menggunakan estimasi keuntungan yang terlalu optimistis. Banyak pemula yang langsung menghitung keuntungan berdasarkan omzet bulan pertama, padahal kondisi usaha bisa naik-turun. Idealnya, gunakan rata-rata omzet selama 3 bulan sebelum menentukan pola bagi hasil jangka panjang.

Beberapa orang juga terlalu percaya tanpa membuat kontrak. Karena kerja sama dilakukan dengan teman atau saudara, mereka merasa tidak perlu perjanjian. Padahal, konflik bisa terjadi bahkan dengan orang terdekat sekalipun. Justru dengan perjanjian yang jelas, hubungan bisa tetap sehat meskipun bisnis menghadapi tantangan.

Bagaimana Jika Investor Ingin Ikut Mengelola?

Kadang-kadang pemodal merasa mereka punya hak untuk ikut mengatur jalannya usaha karena mereka telah menyuntikkan dana cukup besar. Ini bisa menjadi masalah jika tidak dibicarakan sejak awal. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendiskusikan peran masing-masing pihak sebelum kerja sama dimulai.

Jika investor ingin terlibat dalam pengelolaan, kamu bisa mempertimbangkan untuk menjadikannya partner aktif, bukan hanya pemodal. Dalam hal ini, pembagian keuntungan bisa diatur ulang, misalnya menjadi 50:50 atau 60:40. Tapi jika dia hanya ingin mengontrol tanpa bekerja, sebaiknya hindari, karena ini bisa mengganggu proses operasional harian.

Sebaliknya, jika usaha berkembang dan ingin dibuat menjadi badan hukum seperti CV atau PT, investor bisa diakomodasi sebagai pemegang saham. Ini akan memudahkan proses dividen dan pembagian keuntungan dengan mekanisme yang lebih terstruktur.

Alternatif: Sistem Saham Mikro

Jika kamu ingin kerja sama yang lebih modern dan terstruktur, kamu bisa mencoba model saham mikro. Dalam sistem ini, kamu mendirikan badan usaha seperti CV atau PT, lalu menjual saham usaha kepada beberapa pemodal kecil. Keuntungan dibagikan dalam bentuk dividen, dan semua proses transparan karena sudah memiliki pembukuan formal.

Sistem ini sudah mulai digunakan oleh usaha kuliner kekinian seperti coffee shop, cloud kitchen, hingga gerobak makanan yang berkembang pesat melalui kolaborasi komunitas investor mikro.

Satu hal yang pasti, apapun bentuk kerja samanya, pastikan kamu memahami dengan baik dasar perhitungan keuntungan, transparan soal keuangan, dan membangun kepercayaan lewat komunikasi serta kontrak legal. Dengan begitu, sistem bagi hasil usaha kuliner bisa jadi jalan sukses bersama, bukan sumber masalah.

Tags :
Berbagi :